China, the prettiest Asian Peony.

Ini bukan pengalaman pertama saya ke Negeri Tirai Bambu. Bukan juga kedua. Ini adalah kali keempat, saya ‘pulang kampung’ ke Tanah Air para leluhur.

Tepat seperti peribahasa masyarakat Arab ‘Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri China”, lagi-lagi perjalanan kali ini memberi saya banyak ilmu, cinta dan pelajaran. Padahal saya sudah beberapa kali bolak-balik Negera ini, tetap saja saya merasa saya tidak pernah merasa cukup belajar dari Negara ini.

Bahkan kemanapun kaki melangkah, dengan siapa saya berbicara, produk yang saya lihat, service yang saya terima membuat saya melongo dan takjud. Well, people said there is no enough to learn 🙂

china2-2
Suzhou, China (Oktober, 2018)

Perjalanan hampir 7 jam menghantarkan saya ke kota lama Suzhou, yang terkenal dengan gadis cantik, kanal indah, udara yang sejuk dan pusat kain sutra. Baru saja rasanya saya sampai ke Tiongkok, kami sudah di ajak ke beberapa Perusahaan mitra Pemerintah, seperti Pabrik kain Sutra, Tong Ren Tang yaitu perusahaan Farmasi tradisional Tiongkok, Latex, produsen Teh, pabrik Giok dan masih banyak lagi.

Beberapa dari peserta tidak senang karena terlalu banyak ‘pesan sponsor’. Maklum, kali ini saya dan papa pergi dalam rangka Tur Insentif dari Unilever Food Solutions atas pencapaian target. Pesertanya hampir 45 orang dan semuanya adalah pemilik perusahaan distributor daerah alias para bos!

Banyak dari mereka meminta supaya kunjungan di skip saja karena kunjungan seperti ini jelas sangat memakan waktu dan tenaga. Tapi lagi-lagi tidak bisa. Selain juga karena sudah masuk dalam jadwal, rupanya kegiatan ini di wajibkan oleh pemerintah pusat. Salah satu Tour Leader memberitahu kami bahwa hampir seluruh tur lokal di Tiongkok disubsidi oleh pemerintah sehingga mereka diwajibkan untuk menuruti himbauan dan keinginan pemerintah.

WAW! Saat saya dengar hal itu, saya langsung melongo kaget. Angkat jempol untuk dukungan pemerintah Tiongkok kepada pedagang dan pengusaha lokal setempat! Pemerintah Tiongkok rupanya sudah mengerti betul bahwa mendukung pengusaha lokal dalam pergerakannya bisa mengemburkan pasar dan mendatangkan devisa. Dasar Bangsa Pedagang susah di lawan~

Disisi lain, saya iri dengan kebijakan dan perhatian pemerintah Tiongkok. Terlepas dari pemerintahan Tiongkok masih pro-sentralisasi, sebagai salah satu pengusaha di Indonesia, saya tahu betul sulitnya ‘berusaha’ di Negara ini. Mulai dari birokrasi yang rumit dan bertele-tele, uang bawah tangan, peraturan yang begitu cepat berubah-ubah dan lainnya, yang mayoritas dibuat-buat oleh pemerintah atau oknum pemerintahan itu sendiri, seperti dinas kesehatan, kementrian perdagangan, lembaga SNI, polisi, BPOM, dan masih banyak lagi. Disaat pemerintah Negara luar mempermudah pengusaha guna memperkaya diri, kenapa Negara kita justru mempersulit dan memperalat pengusaha lokal? Apa karena Negara kita merasa sudah terlalu kaya?

postcard
Beijing, China (Oktober, 2018)

Lalu, saya bertanya-tanya mengapa Tiongkok bisa sepowerful itu? Apakah ini semerta-merta hasil dari displin pasca revolusi kebudayaan atau akibat dari kebijakan Sentralisasi yang masih ketat diberlakukan?

Ditengah kebinggungan itu, saya berbincang-bincang dengan salah satu peserta tur asal Bandung. Seseorang yang sangat senior baik dalam umur maupun dalam kemampuan berbisnis, dan sudah selayaknya dipanggil ‘Opa’ ketimbang ‘Om’. Dia lalu bercerita tentang kenyataan saat Mao Zedong naik menjadi presiden dan memulai revolusi kebudayaan di tahun 1966.

Saat itu ia masih duduk di Sekolah menegah. Keluarganya memiliki 4 anak dan Opa adalah anak paling kecil. Masing-masing saudara rentang umurnya cukup jauh sehingga saat kakak-kakaknya sudah bekerja, Opa masih duduk di bangku sekolah. Selepas sekolah menengah, kakak pertamanya melanjutkan kuliah ke Tiongkok di tahun 1950-an. Disusul dengan kakak keduanya yang juga menjadi mahasiswa Beijing National University. Keduanya pun kembali pulang ke Indonesia setelah melanjutkan studi.

Masuk tahun 1966, di saat kakak ketiganya lulus SMA. Orang tua Opa-pun mengirimkan kakak ketiganya untuk melanjutkan kuliah di Tiongkok. Tapi, sayangnya apes! Tahun itu, Mao Zedong telah menguasai seluruh Mainland China (P.R.C) dan dengan ganasnya memberlakukan Revolusi Kebudayaan secara besar-besaran dan merata. Seluruh warga kampung yang datang ke kota di suruh kembali ke kampung asalnya. Seluruh tempat ibadah, perkumpulan, sekolah dan seluruh universitas ditutup guna menghapus Four Olds (Old ideas, old custom, old habits, old cultures). Disaat itu lah Tiongkok menjadi Negara Tirai Bambu.

Jadi, bisa di bayangkan dari tahun 1966 sampai Mao Zedong meninggal di akhir tahun 1976, tidak ada kegiatan akademis di Negara Tiongkok. Sepuluh tahun tidak ada mahasiswa, tidak ada guru, tidak ada penelitian, dan lainnya. Berarti bisa ditarik kesimpulan bahwa hampir semua anak kecil atau bayi yang lahir rentang tahun itu kesulitan baca-tulis. Tapi kok bisa ya di tahun 1993, Tiongkok telah menjadi Negara No 1 the fastest-growing economies in the world?

Masa Negara kita yang membuka beasiswa hingga beribu-ribu tiap tahunnya dan memakan anggaran hingga puluhan Trilliun, kalah sama Negara yang mayoritas buta huruf? 😦 

IMG_8135
Shanghai, China (Oktober, 2018)

Sebenarnya banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan melalui perjalanan ini. Beneran deh, perjalanan ke Tiongkok adalah sebuah perjalanan membuka pola pikir dan poin terakhir ini adalah highlight dari 8 hari perjalanan saya ke Tiongkok. Apa lagi kalau bukan IMPROVEMENT.

Untuk yang baru pertama kali ke Tiongkok, pasti kaget dengan kenyataan bahwa orang lokal sangat lack of manner, WC di Negara ini sangat jorok dan bau, orang-orangnya kasar, susah berkomunikasi karena mereka tidak bisa bahasa lain selain bahasa Mandarin, jorok, berisik dan masih banyak respon negatif lainnya. Tapi untuk saya yang sudah beberapa kali ke Tiongkok, saya justru terkagum-kagum dengan perubahan yang saya rasa sangat signifikan terjadi dalam jangka waktu singkat.

Terakhir saya ke Beijing di bulan Agustus 2016. Berarti baru 2 tahun yang lalu, saya menginjakan kaki ke ibukota Tiongkok. Namun, saya bisa rasa perbedaannya. Mulai dari orang-orang lokal yang lebih ramah, mulai bisa mengerti bahasa Inggris sederhana, lebih terbuka dan tidak senorak itu saat melihat turis asing yang berbeda jauh perawakannya, masih banyak lagi.

Paling penting dan paling sering di bahas adalah WC. Saya beberapa kali stop di Rest Area dibeberapa area. Seperti yang kita tahu bersama, dimana-mana biasanya WC  Rest Area adalah WC paling bau, jorok dan kotor. Ini errr– tidak seburuk yang dibayangkan tuh! Memang masih bau pesing, itu fakta tidak bisa dibantah. Tapi tidak seburuk 2 tahun lalu saat saya menjadi Delegasi Indonesia saat China-ASEAN Youth Leadership Training dan tinggal sebulan di Negara ini.

Selai kacang (read: poop) dan selai strawberry (read: pembalut yang penuh dengan darah menstruasi) sudah tidak terlihat dan berserakan di dalam kubik WC. Keadaan WCnya pun semakin membaik dengan disediakannya tisu di beberapa WC tempat wisata terkenal. WAW! 2 Tahun lalu, boro-boro tisu! WC ga ada ‘ranjau’-nya aja udah syukur 😥

IMG_8253
Tian An Men, Beijing, China (Oktober, 2018)

Saya juga merasa ada perubahan dengan manner orang lokal terhadap turis. Mereka tidak lagi NORAK melihat turis khususnya yang berbeda penampilan fisiknya, seperti bule atau orang Negro. Generasi muda hingga usia produktif mulai bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Mereka jauh lebih sopan, ramah dan sangat informatif.

Generasi tua-nya pun sudah jarang membuang ludah sembarangan, teriak keras-keras, menyerobot antrian dan mengusir jika kita melihat tanpa membeli. Memang terkadang masih ada yang seperti itu tapi makin ke sini, makin berkurang jumlahnya. Ditambah lagi, perkembangan fasilitas dan beragam kemudahan yang terus dikembangkan oleh Negara ini. WAW! Dear China, you never fails to amaze me!

Improvement seperti ini membuat saya kagum dengan masyarakat Tiongkok yang walaupun menjadi Negara Adi Kuasa secara ekonomi, tetap rendah hati dan open minded untuk terus belajar demi kemajuan Negaranya. Mungkin lebih lambat daripada Negara lain, mengingat kondisi usia lanjut/pensiun populasinya lebih banyak dari pada usia produktif. Tapi selama ada keinginan untuk menjadi lebih baik, pergerakan meskipun lambat akan berbuah manis pada akhirnya. 

Cheers for better days!

china6-1
Suzhou, China (Oktober, 2018)

Tinggalkan komentar